Monday, January 30, 2017

Patrialis Akbar Tertangkap, Ini Kritik ICW untuk Mahkamah Konstitusi




JAKARTA - Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun mengatakan, usaha memperbaiki citra yang dilakukan Mahkamah Konstitusi runtuh akibat tertangkapnya hakim konstitusi Patrialis Akbar.

"Usaha perbaikan citra sepertinya memang ada. Tapi saya tidak melihat perubahan yang signifikan," kata Tama.

Menurut Tama, hal itu terlihat dari putusan MK. Tama mencontohkan, di antaranya terkait isu politik dinasti di UU Pilkada pada Juli 2015 lalu. MK mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. MK menilai, aturan yang membatasi calon kepala daerah yang memiliki hubungan dengan petahana telah melanggar konstitusi. "Terakhir soal Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, diwajibkan adanya kerugian negara," ujar Tama.

MK memberikan putusan terkait ketentuan kerugian atau daerah yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Putusan MK pada nomor perkara 25/PUU-XIV/2016 menghilangkan kata "dapat" di kedua pasal UU Tipikor tersebut.

Dengan demikian, pada pasal 2 UU Tipikor, kalimat yang sebelumnya berbunyi:

"(ayat 1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)"

berubah menjadi:

"...memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau...".

Begitu pula di pasal 3 UU Tipikor.
Dihilangkannya kata "dapat" pada kedua pasal tersebut menjadikan delik korupsi yang selama ini sebagai delik formil berubah makna menjadi delik materiil. Perubahan delik formil ke materiil ini akan semakin menyulitkan KPK dalam menangani kasus.

Sebab, unsur kerugian keuangan negara harus dihitung secara nyata atau pasti.

Atau dengan kata lain, unsur merugikan keuangan negara dalam kasus korupsi tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss), tetapi harus dipahami bahwa benar-benar sudah terjadi atau nyata.(tribunnews/kompas.com)

No comments:

Post a Comment